Pagi itu di Pulau
Lambeta cuaca terlihat cerah, sejauh mata memandang yang terlihat adalah
hamparan laut nan tenang mendamaikan. Disana tinggal puluhan kepala keluarga
yang menjunjung tinggi sebuah tradisi berburu paus. Paus yang mereka tangkap
itu akan dijadikan bahan makan selama satu tahun kedepan, ya begitulah tradisi
mereka sedikit membuat bulu kuduk orang yang mengetahuinya cenagr-cengir,
meringis saat membayangkan proses tradisi itu dijalankan.
Namanya Biru dia
tinggal di Lamalera,meskipun dia terlahir
dari anak nelayan, semangat meraih mimpinya cukup tinggi sampai-sampai setahun
yang lalu dia kuliah di sebuah universitas di Taiwan,mengambil jurusan
sosiologi. Disana dia menemukan beberapa teman dari Indonesia dan salah satunya
aku.
Suatu hari ketika aku sekelas dan duduk bersebelahan
denganya, kami berkenalan dan kemudian membicarakan tempat asal kami.
“Biru,kau dari Indonesia juga?” tanyaku sambil memandangnya penasaran.
“Ya, aku dari suku Lamalera, tepatnya kecamatan
Lamalera,kepulauan Lambeta di NTT.” Jawabnya sumringah.
Dari raut wajahnya saat menjawab pertanyaanku, sepertinya
di sedang merindukan kampung halamanya. Bagaimana tidak tinggal dinegeri orang
selama 2 tahun tanpa kembali ke kampung halamanya meskipun hanya sehari dua
hari.
“Waah, suku yang menjunjung tinggi tradisi perburuan
Paus itu?” Tanyaku penasaran
“Ya, suku yang selalu menjalankan tradisi perburuan
paus setiap tahun, tepatnya pada bulan April. Paus yang diambil haruslah yang
sudah berukuran dewasa atau tua, yang sudah beranak. Memburunya dengan sebilah
tompak bermata runcing dan yang lebih menarik itu dilakukan diatas kapal kecil
bisa disebut sampan.” katanya menjelaskan.
Bukankah laut memiliki gelombang yang tinggi pada
waktu-waktu tertentu? Bukankah laut sangat buas, dengan sesuka hati mereka
menerkam para nelayan atau orang-orang yang sedang berlayar dan mencari rejeki
untuk menyambung hidup. Terbesit pertanyaan-pertanyaan dalam pikiranku.
“Tunggu, jadi berburu paus di lautan lepas dengan
bermodalkan sampan dan tombak bermata tajam saja? Apa tidak mengancam nyawa? “
Mataku terbelalak penasaran, otakku membayangkan.
Sambil tersenyum dan kemudian Laut menjelaskan “Ya,
memang begitu sampan dan tombaklah senjata kami. Semua dilakukan oleh suku
Lamalera setiap tahunya. Tidak hanya sehari ritual perburuan itu berlangsung.”
Aku kemudian menyahut “Lalu butuh waktu berapa
hari?”
“Masih banyak ritual ynag harus dilakukan
diantaranya pada tanggal 28-29 April penduduk yang tinggal di dataran tinggi turun
ke pantai dan berdoa memanggil paus, pada tanggal 30-31 semua penduduk Lamalera
berdoa untuk keselamatan nelayan ataupun anggota yang akan pergi memburu paus.”
“Berarti sekitar satu minggu?” tanyaku lagi. Ah, aku
semakin penasaran .
“Iya sekitar seminggu.” Jawabnya tegaas
“Lalu kapan waktu memburu paus?” tanyaku penasaran
“Suku kami mengadakan perburuan sekitar bulan
mei-oktober dimana setelah melakukan berbagai ritual dan pada bulan tersebut
air laut sedang tenang juga,sehingga kami dapat mudah memburu paus dengan
sampan dan tombak.” Jelasnya.
Aku semakin penasaran, membayangkan trasisi itu
berjalan sunggh terasa sangat waaah.. sampai tidak dapat diungkapkan dengan
kata-kata. Takjub tapi disisi lain aku masih penasaran apakah tidak ada
perlindungan untuk ikan jenis paus yang kini keberadaanya semakin menurun
diperairan Indonesia bahkan dunia. Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi rugi
rasany akalau tidak menanyakan tradisi suku lamalera ini dengan jelas.
“Lalu dalam tradisi tersebut apakah kamu pernah menjadi penombak atau yang mengendarai sampan?”
“Lalu dalam tradisi tersebut apakah kamu pernah menjadi penombak atau yang mengendarai sampan?”
“Iya, disana aku menjadi anak yang menombak paus,
kalau disana namanya juru tikam paus atau lamafa atau ada yang menyebutnya
balafaing.”
Saat dosen mulai memasuki bibir pintu aku masih
asyik memnanyakan banyak hal tentang tradisi di Lamalera, otakku masih
menyimpan beberapa pertanyaan. Langsung saja aku tanyakan lagi kepada Laut.
“Hai laut, kemudian akan diapakan paus itu jika
sudah tertangkap?”
“Kami jadikan paus sebagai bahan persediaan makan
kami selama setahun.” Jawabnya jelas.
Aku masih ingin bertanya “Lalu apakah semua ukuran paus dapat ditangkap?”
Laut menjawabnya dengan penuh penekanan “Kami suku lamalera hanya menangkap ikan yang sudah berumur yang tidak sedang hamil.”
Aku masih ingin bertanya “Lalu apakah semua ukuran paus dapat ditangkap?”
Laut menjawabnya dengan penuh penekanan “Kami suku lamalera hanya menangkap ikan yang sudah berumur yang tidak sedang hamil.”
Aku masih menggeleng-gelengkan kepalaku, sungguh
baru aku ketahui semua cerita suku Lamalera saat duduk dibangku perkuliahan S2
kala itu. Padahal aku sebagai anak yang kuliah dijurusan perikanan dan ilmu
kelautan.
“Oh iya aku lupa menjelaskan,kemudian sesudah paus
ditangkap, kami membagikanya kepada seluruh masyarakat Dengan pola
pembagian, 3 potongan besar untuk tuan tanah, awak perahu dan suku pemilik
perahu. Tuan tanah yang merupakan sesepuh desa, tetua adat dan penduduk asli
Lamalera akan memperoleh bagian kepala. Sementara bagian lainnya dibagi sesuai
dengan peran masing-masing awak yang kemudian akan membaginya lagi kepada
tetangga dan saudara.” Dia menjawab sambil melengkungkan senyuman.
Saat dosen akan memulai menerangkan materi perkuliahan kami masih
berbincang-bincang. Ah, tapi aku sadar nanti masih ada waktu diluar kelas untuk
bertanya-tanya.
Dan saat dosen yang akan memberikan materi sudah beranjak dari
tempat duduknya dan mulai perbincangan itu kami akhiri.
Aku menarik kesimpulan bahwa tradisi suatu daerah memanglah harus
dilestarikan, tapi tidak harus merusak ekosistem dan biota didalamnya jugakan?
Yang pasti kalau tradisi tersebut baik dan daerah yang mengadakannya bisa mampu
melestarikan bisa jadi nilai jual dimata wisatawan domestik maupun mancanegara. Aku masih takjub dengan cerita Laut tadi,dia menunjukkan bahwa sebagai anak yang terlahir dari nelayan tidak membatasi untuk maju tidak membatasi untuk bisa kuliah hingga bangku pascasarjana.
Disaat aku mendengarkan penjelasan dari dosen, khayalanku sedang berlari menuju laut NTT perbatasan Australi yang ku lihat biru mendamaikan hati dan memanjakan mata bagi yang melihatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar