Selasa, 09 Juni 2015

EKSOTIKA LAUT NEGERIKU


Pagi itu di Pulau Lambeta cuaca terlihat cerah, sejauh mata memandang yang terlihat adalah hamparan laut nan tenang mendamaikan. Disana tinggal puluhan kepala keluarga yang menjunjung tinggi sebuah tradisi berburu paus. Paus yang mereka tangkap itu akan dijadikan bahan makan selama satu tahun kedepan, ya begitulah tradisi mereka sedikit membuat bulu kuduk orang yang mengetahuinya cenagr-cengir, meringis saat membayangkan proses tradisi itu dijalankan.
Namanya Biru dia tinggal di Lamalera,meskipun  dia terlahir dari anak nelayan, semangat meraih mimpinya cukup tinggi sampai-sampai setahun yang lalu dia kuliah di sebuah universitas di Taiwan,mengambil jurusan sosiologi. Disana dia menemukan beberapa teman dari Indonesia dan salah satunya aku.
Suatu hari ketika aku sekelas dan duduk bersebelahan denganya, kami berkenalan dan kemudian membicarakan tempat asal kami.
“Biru,kau dari Indonesia juga?” tanyaku sambil  memandangnya penasaran.
“Ya, aku dari suku Lamalera, tepatnya kecamatan Lamalera,kepulauan Lambeta di NTT.” Jawabnya sumringah.
Dari raut wajahnya saat menjawab pertanyaanku, sepertinya di sedang merindukan kampung halamanya. Bagaimana tidak tinggal dinegeri orang selama 2 tahun tanpa kembali ke kampung halamanya meskipun hanya sehari dua hari.
“Waah, suku yang menjunjung tinggi tradisi perburuan Paus itu?” Tanyaku penasaran
“Ya, suku yang selalu menjalankan tradisi perburuan paus setiap tahun, tepatnya pada bulan April. Paus yang diambil haruslah yang sudah berukuran dewasa atau tua, yang sudah beranak. Memburunya dengan sebilah tompak bermata runcing dan yang lebih menarik itu dilakukan diatas kapal kecil bisa disebut sampan.” katanya menjelaskan.
Bukankah laut memiliki gelombang yang tinggi pada waktu-waktu tertentu? Bukankah laut sangat buas, dengan sesuka hati mereka menerkam para nelayan atau orang-orang yang sedang berlayar dan mencari rejeki untuk menyambung hidup. Terbesit pertanyaan-pertanyaan dalam pikiranku.
“Tunggu, jadi berburu paus di lautan lepas dengan bermodalkan sampan dan tombak bermata tajam saja? Apa tidak mengancam nyawa? “ Mataku terbelalak penasaran, otakku membayangkan.
Sambil tersenyum dan kemudian Laut menjelaskan “Ya, memang begitu sampan dan tombaklah senjata kami. Semua dilakukan oleh suku Lamalera setiap tahunya. Tidak hanya sehari ritual perburuan itu berlangsung.”
Aku kemudian menyahut “Lalu butuh waktu berapa hari?”
“Masih banyak ritual ynag harus dilakukan diantaranya pada tanggal 28-29 April penduduk yang tinggal di dataran tinggi turun ke pantai dan berdoa memanggil paus, pada tanggal 30-31 semua penduduk Lamalera berdoa untuk keselamatan nelayan ataupun anggota yang akan pergi memburu paus.”
“Berarti sekitar satu minggu?” tanyaku lagi. Ah, aku semakin penasaran .
“Iya sekitar seminggu.” Jawabnya tegaas
“Lalu kapan waktu memburu paus?” tanyaku penasaran
“Suku kami mengadakan perburuan sekitar bulan mei-oktober dimana setelah melakukan berbagai ritual dan pada bulan tersebut air laut sedang tenang juga,sehingga kami dapat mudah memburu paus dengan sampan dan tombak.” Jelasnya.
Aku semakin penasaran, membayangkan trasisi itu berjalan sunggh terasa sangat waaah.. sampai tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Takjub tapi disisi lain aku masih penasaran apakah tidak ada perlindungan untuk ikan jenis paus yang kini keberadaanya semakin menurun diperairan Indonesia bahkan dunia. Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi rugi rasany akalau tidak menanyakan tradisi suku lamalera ini dengan jelas.
“Lalu dalam tradisi tersebut apakah kamu pernah menjadi penombak atau yang mengendarai sampan?”
“Iya, disana aku menjadi anak yang menombak paus, kalau disana namanya juru tikam paus atau lamafa atau ada yang menyebutnya balafaing.”
Saat dosen mulai memasuki bibir pintu aku masih asyik memnanyakan banyak hal tentang tradisi di Lamalera, otakku masih menyimpan beberapa pertanyaan. Langsung saja aku tanyakan lagi kepada Laut.
“Hai laut, kemudian akan diapakan paus itu jika sudah tertangkap?”
“Kami jadikan paus sebagai bahan persediaan makan kami selama setahun.” Jawabnya jelas.
Aku masih ingin bertanya “Lalu apakah semua ukuran  paus dapat ditangkap?”
Laut menjawabnya dengan penuh penekanan “Kami suku lamalera hanya menangkap ikan yang sudah berumur yang  tidak sedang hamil.”
Aku masih menggeleng-gelengkan kepalaku, sungguh baru aku ketahui semua cerita suku Lamalera saat duduk dibangku perkuliahan S2 kala itu. Padahal aku sebagai anak yang kuliah dijurusan perikanan dan ilmu kelautan.
“Oh iya aku lupa menjelaskan,kemudian sesudah paus ditangkap, kami membagikanya kepada seluruh masyarakat Dengan pola pembagian, 3 potongan besar untuk tuan tanah, awak perahu dan suku pemilik perahu. Tuan tanah yang merupakan sesepuh desa, tetua adat dan penduduk asli Lamalera akan memperoleh bagian kepala. Sementara bagian lainnya dibagi sesuai dengan peran masing-masing awak yang kemudian akan membaginya lagi kepada tetangga dan saudara.” Dia menjawab sambil melengkungkan senyuman.

Saat dosen akan memulai menerangkan materi perkuliahan kami masih berbincang-bincang. Ah, tapi aku sadar nanti masih ada waktu diluar kelas untuk bertanya-tanya.
Dan saat dosen yang akan memberikan materi sudah beranjak dari tempat duduknya dan mulai perbincangan itu kami akhiri.

Aku menarik kesimpulan bahwa tradisi suatu daerah memanglah harus dilestarikan, tapi tidak harus merusak ekosistem dan biota didalamnya jugakan? Yang pasti kalau tradisi tersebut baik dan daerah yang mengadakannya bisa mampu melestarikan bisa jadi nilai jual dimata wisatawan domestik maupun mancanegara. Aku masih takjub dengan cerita Laut tadi,dia menunjukkan bahwa sebagai anak yang terlahir dari nelayan tidak membatasi untuk maju tidak membatasi untuk bisa kuliah hingga bangku pascasarjana. 

Disaat  aku mendengarkan penjelasan dari dosen, khayalanku sedang berlari menuju laut NTT perbatasan Australi yang ku lihat biru mendamaikan hati dan memanjakan mata bagi yang melihatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar